The language of human rights facilitated the process of reconciliation between them and enabled the voice to be heard by whole society. This single language is very important to keep all united
(Munir dalam Pidatonya Saat Menerima Right Livelihood Award)
Membicarakan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak akan pernah lepas dari sosok Munir Said Thalib. Sebagaimana namanya yang bermakna cahaya, ia telah menerangi dan memberikan setapak pada perjuangan HAM di Indonesia.
Perjuangannya untuk membumikan HAM dari akar rumput akhirnya membawanya pada bumi yang dicintainya. Sepertinya, memang tidak ada kematian yang abadi, bahkan gajah meninggalkan gading, kata mereka. Namun, Munir tidak hanya meninggalkan ‘gading’. Ia meninggalkan keberanian dan nyala api yang menerangi dan terus membakar tonggak kekuasaan.
Humanisme dan Kebangsaan
Bukan berlebihan apabila kita menyematkan sosok pahlawan pada sosok Munir. Meskipun kehadirannya sering dianggap kontroversial, jutaan tangis mengalir saat mengenang kepergiannya. Pada masa perjuangan Orde Baru, Munir telah memperkenalkan dan salah satu penanam akar isu HAM yang sering dianggap isu barat.
Pemahaman HAM sebagai perlawanan terhadap kekuasaan politik, sosial budaya hingga agama yang melupakan nilai kemanusiaan yang dipahami Munir[1] ini sebetulnya perlu kita refleksikan kembali dan berulang kali.
Munir melalui nilai dan tindakannya telah mewariskan pemikiran humanis melampaui zaman dan menyejajarkannya dengan paham kebangsaan itu sendiri. Adapun, humanisme merupakan pemahaman bahwa kemanusiaan merupakan salah satu nilai terpenting dalam kehidupan. Penghormatan terhadap kemanusiaan sama pentingnya dengan pengagungan kebangsaan itu sendiri. Munir menyelaraskan semangat kebangsaan atas dasar kemanusiaan.
Kuat-tidaknya satu proses penghormatan terhadap kemanusiaan sekaligus menjadi alat ukur bagi apakah telah berkembang suatu kemampuan bangsa untuk tumbuh dalam rangka demokrasi dalam peradaban modern.[2] Pemahaman humanisme dalam kebangsaan ini dapat dipahami bahwa demokrasi dan kebangsaan menghormati kemanusiaan dan hak asasi itu sendiri.
Pembahasan ini menjadi penting ketika kita mengurai lagi apa yang diperjuangkan Munir merupakan perlawanan kemanusiaan pada otoritas. Kita dapat lihat pada kisah kasus pembunuhan Marsinah, Tragedi Tanjung Priok, ataupun Tragedi Semanggi yang berusaha membangkitkan dan membuktikan kemanusiaan di atas segalanya.
Dalam pandangan Mangunwijaya, Humanisme merupakan proses mempertahankan sikap kritis terus-menerus di hadapan segala otoritas luaran yang memaksakan kehendaknya tanpa alasan yang jelas.[3]
Sikap kritis dari Munir dapat dilihat dari setiap pernyataan yang telah banyak didokumentasikan. Ia sempat menyebutkan sebagaimana tercatat bahwa sejarah haruslah dilihat pula sebagai pergumulan umat manusia dalam pertarungan antara memperjuangkan kemanusiaan melawan dominasi dan kekuasaan yang zalim dan menghalalkan cara.[4]
Sikap humanis yang dimiliki oleh Munir ini disampaikan melalui tindakan menolak kekerasan, penindasan, dan kekuasaan militer di atas kemanusiaan yang hingga kini terus membangkitkan semangat para aktivis untuk memperjuangkan kebenaran.
Jika kita menengok kembali, terlebih pada masa Orde Baru, tidak ada hal lain yang dibutuhkan masyarakat selain keberanian. Semua tenaga telah dirampas oleh otoritas pemerintah, tetapi nilai yang ia tanamkan menjadikan tak ayal sebagai simbol dari perjuangan penegakan nilai humanis pada konsep hak asasi ini.
Satu hal yang pasti dalam perjuangannya, kita tahu bahwa semangat kebangsaan, integrasi nasional yang terkadang menciptakan bias dalam gejolak politik tidak boleh membuat terlupa pada kemanusiaan dan humanisme yang kita miliki.
Jalan Terjal Atas Nama Kemanusiaan
Masa kini dan lampau, perjuangan kemanusiaan masih melalui jalan terjal dan perjuangannya masih panjang. Hingga kini, jutaan masyarakat di Papua masih ketakutan dari suara senapan yang mengatasnamakan integrasi nasional.
Pun para aktivis masih membisu dalam perjuangan karena ditebas dengan berbagai pasal untuk melindungi kepentingan berbagai pihak. Kebebasan untuk menentukan orientasi gender menjadi permasalahan besar dan wacana kepanikan moral oleh media.
Media pun lebih banyak memilih untuk mengesampingkan perannya untuk perubahan sosial atau pembangunan demokrasi. Namun, di tengah ketidakpastian nilai dari kemanusiaan, perjuangan masih ada.
Sebagaimana yang diyakini Munir bahwa sikap optimis menggiring orang pada kehidupan yang lebih baik dan dapat membuat orang percaya pada pengharapan. Terlebih, sikap itu dapat menuntun orang memahami kemanusiaan yang sesungguhnya.[5]
Kemanusiaan dalam berbangsa dipahami sebagai salah satu pondasi yang dibentuk pada sila kemanusiaan dalam Pancasila. Itu juga dapat dipahami bahwa dasar kita ialah mengakui hak dan kewajiban yang dimiliki dan dipenuhi oleh masyarakat.
Namun, ketimpangan kewajiban dan hak dari negara juga masyarakat menjadikan dasar itu tidak lagi berarti. Ketimpangan semacam itulah yang mengundang kegelisahan; pemikiran yang berbuah tindakan dari Munir.
Tindakan represif dari pemerintah Orde Baru untuk merasa memiliki kuasa di atas rakyat akhirnya mengorbankan kemanusiaaan. Kuasa negara atas rakyat yang dilakukan dengan kuasa militer sempat dilakukan di Timor Timur serta Aceh yang kembali mengatasnamakan mempertahankan nusantara.
Tindakan represif yang sebenarnya tidak benar- benar hilang hingga berakhirnya masa Orde Baru. Pada masa itu, Munir melakukan protes serta memfasilitasi masyarakat lokal untuk menuntut hak mereka. Keberanian dan keyakinannya akan kemanusiaan menjadikan kekuatan masyarakat yang sebenarnya dapat kita saksikan hingga kini.
Keyakinan tersebut tampaknya masih mengakar pada perjuangan kemanusiaan di Indonesia. Munir memberikan kepercayaan dan semangatnya dari masyarakat akar rumput. Ia bahkan pernah menyebutkan, jika kita ingin dekat dan menemukan Tuhan, kita harus bersatu dengan orang-orang miskin.[6]
Tampaknya, ia melihat perjuangan kemanusiaan dan proses menemukan Tuhan ditempuh bersama masyarakat marjinal atau mereka yang terpinggirkan. Optimisme dalam warisan pemikirannya itu akhirnya melahirkan banyak aktivis dan pejuang HAM yang bermula dari akar rumput dan terinspirasi dari perjuangannya.
Sekalipun terjal dan penuh risiko, menjunjung tinggi kemanusiaan merupakan tanggung jawab; bukan hanya negara, tetapi juga setiap individu. Jalan terjal itu dipilih Munir yang sekali lagi membentuk jalan setapak untuk para aktivis setelah masanya.
Munir merupakan tonggak yang menjadikan HAM bukan masalah regulasi pasal dan norma, melainkan lebih pada upaya memenuhi harapan orang tua dan sanak kerabat para korban; menjawab rasa sakit dan penderitaan orang yang diambil, dianiaya, atau dibunuh oleh kekejaman[7].
Ia menjadikan kemanusiaan bukan sekadar konsep yang dikaji secara abstrak, melainkan aksi dan tindakan yang telah dilakukannya sepanjang hayatnya. Melampaui dirinya, Munir mengedepankan kemanusiaan dan HAM sebagai akar yang tidak terbatas oleh otoritas kuasa politik atau segala bentuk kekuasaan lain. Hal itu sebenarnya sempat ia ucapkan yang digunakan sebagai salah satu kutipan dalam beberapa referensi terkait dirinya,
Aku harus bersikap tenang, walaupun takut untuk membuat semua orang tidak takut. Normal, sebagai orang, ya pasti ada takut, nggak ada orang yang nggak takut, Cuma yang coba aku temukan adalah merasionalisasi rasa takut. Rasa takut ada, tapi harus diatasi. Aku juga harus mengatasi diri sendiri.[8]
Munir mengetahui bahwa perjuangannya untuk membela kemanusiaan ini melebihi dirinya dan jelas untuk kepentingan yang lebih besar sehingga tidak menyerah pada rasa takut. Masih banyak ketakutan yang dialami oleh masyarakat yang terpinggirkan, yang perjuangannya harus dalam diam.
Sepertinya, dalam perjuangan kemanusiaan, kita harus mematikan rasa takut itu sendiri. Perjuangan dan nilai yang ia pegang tidak hanya menjadi refleksi bagi perjuangan terjal kemanusiaan, tetapi membentuk sekelompok manusia yang memperjuangkan kemanusiaan itu sendiri.
Kembali lagi, tidak ada kematian yang abadi. Munir meninggalkan perjuangan sekaligus pondasi atas nama kemanusiaan. Kita pun tahu perjuangannya terus bergulir dengan lahirnya Munir-Munir baru yang memperpanjang estafet kebenaran, sebagaimana kelahirannya diharapkan untuk menjadi lilin bagi keluarganya.
Tidak berlebihan jika kita menyebutnya sebagai pelita yang menerangi perjuangan kemanusiaan. Munir tentu saja bukan sekadar sosok; ia merupakan simbol dan nama dari perjuangan yang tak kunjung usai. Tampaknya, kematian cahaya ini dapat direfleksikan sebagai sebuah kehilangan yang membawa kelahiran dan perjuangan baru untuk kemanusiaan. Kebenaran tidak selamanya terpasung dalam kegelapan apabila seribu lilin siap menyalakan nyalanya.
Yang benar-benar pahlawan adalah pembebas rakyat dari penindasan Militer, intelijen, dan para penjajah hak asasi
Anda harus kecewa karena Munir tidak mati Dia masih hidup di setiap hati yang masih suci Dia masih hidup di tangis rakyat seluruh negeri
Munir-Munir baru tumbuh setiap detik di seluruh pelosok bumi.
(Suatu Sore di TMP Kalibata oleh dr. M. Amin)
Tulisan ini merupakan essay yang saya tulis pada tahun 2017 (dengan gubahan seperlunya) yang disunting oleh Amalia Putri Handayani, sebagai bagian dari buku Menulis Munir, Merawat Ingatan, dapat diakses disini
[1] https://www.tempo.co/read/kolom/2016/09/06/2384/munir-ham-dan- islamnya#vEi0bwQWeCTSVIG8.99
[2] Api Dilawan Air, Sosok dan Pemikiran Munir, LP3ES, hlm. 159.
[3] Penziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya, Forum Mangunwijaya IV, hlm. 99.
[4] Lih, Api Dilawan Air, Sosok dan Pemikiran Munir, LP3ES, hlm. 159.
[5] Api Dilawan Air, Sosok dan Pemikiran Munir, LP3ES, hlm. 175.
[6] Api Dilawan Air, Sosok dan Pemikiran Munir, LP3ES, hlm. 53
[7] Cak Munir, Engkau Tak Pernah Pergi, Willy Pramudya, hlm. 58.[8] Keberanian bernama Munir : mengenal sisi-sisi personal Munir, Meicky Shoreamanis, hlm. 61.