Menyoal Warganet dan Dunia Digital

Eunike
3 min readOct 14, 2020

“Bacooooot” begitulah chat yang saya baca dari sebuah kolom chat di salah satu marketplace. Kisahnya sederhana seorang kawan saya seorang pengelola online shop yang melakukan update stok pada produknya. Tiba-tiba seorang calon pembeli tidak terima kenapa tawarannya tidak diterima, padahal kawan saya pun menjelaskan standard operating procedure untuk first come, first served. Bak Dale Carnegie ia menuliskan dengan kata kata penuh kesantunan. Namun, warganet atau mungkin buyer berkata lain.

Segala ucapan dan kata kata kasar membuat saya pun tertegun membacanya yang membuat saya ngilu menuliskan disini. Saya masih terkagum kepadanya yang tidak membalas ucapan serupa. Usahanya untuk melaporkan kepada pihak marketplace pun tidak membuahkan hasil pasti. Alhasil, jurus blokir dan lupakan adalah hal terbaik untuk dilakukan. Hal ini membuat saya berfikir mengenai maha benar warganet dan segala pernak pernik dunia digital yang melupakan esensi kita sebagai manusia.

Lingkaran Setan Digital

Kisah kawan saya tersebut adalah satu dari ribuan hingga jutaan peristiwa aneh di internet. Saya sering menemukan kelakuan warganet yang luar biasa ajaib dan anehnya kita memakluminya sebagai bercandaan dan hal yang lumrah. Mudahnya akses internet membuat warganet seenak jidat melakukan tindakan semaunya dibalik username yang saya tahu karakter utamanya tidak lebih dari seorang pengecut. Beberapa pelecehan yang ditemukan di internet salah satunya yang dianggap sebagai hal yang lumrah.

I’m not into influencer thing . Namun, saya teringat pemberitaan seorang influencer yang mendapat perundungan hanya karena menggulirkan pembicaraan pelecehan secara digital yang ia dapatkan. Memilukan namun kenyataannya tidak dapat yang kita lakukan. Kemudahan datang dan pergi jejak digital menyebabkan kita terpaksa terus meninggikan kadar toleransi kita akan tindakan yang salah. Kalau terus begini, where does it end?

Laporan akan penipuan, kata kasar, unsur SARA dan pelecehan berbasis dunia digital tidak akan lebih dari tumpukan tanpa henti. Berapa kali saya mendengar kisah sejenis seperti yang didapatkan teman saya. Diperlukan satu atau dua kasus yang viral untuk akhirnya kita lupakan begitu saja. Mengandalkan untuk laporan tanpa ujung yang akhirnya membawa kemarahan pada diri kita sendiri. Hingga kini saya terus bertanya tanya kemana ujung dari lingkaran setan dunia digital ini?

Menjadi Manusia di Dunia Digital

Berkata kasar dan perlakuan tidak enak di internet sering dikaitkan dengan kebaperan kita dan budaya timur kita. Lebih parahnya adalah tuntutan warganet bahwa setiap konten yang dilempar ke internet adalah milik mereka untuk dihujat atau disanjung. Kita tak ubahnya sebuah barang yang tidak memiliki nyawa dan nilai berarti. Saya tidak sepenuhnya setuju dengan budaya timur namun lebih dari itu berperilaku baik bukan menyoal timur dan barat. Ini adalah esensi utama kita sebagai manusia yang berakal budi.

Dalam memandang pola masyarakat digital, saya sering menerapkan untuk menghentikan sebelum keterikatan saya pada sebuah benda menjadi tak terputus. Itu pula lah alasan saya berhenti menggunakan media sosial. Attachment is a scary thing, indeed. Namun, saya masih bertanya tanya apakah warganet semacam ini tidak memiliki pikiran dan perasaan yang sama seperti manusia lain. Walau pada akhirnya, saya mengerti kekosongan hidup mereka karena menumpahkannya di media sosial

Saya sepenuhnya sadar media sosial bagi mereka berjiwa pengecut adalah lapangan untuk menunjukkan dirinya. Akhirnya, di dunia nyata mereka tak lebih dari sebuah tikus sawah menunggu untuk ditangkap. Masalah utama dalam dunia digital kita tidak punya jasa pemburu yang menangkap tikus tersebut. Tidak ada aturan yang bisa diterapkan untuk membatasi perlakuan kita di dunia digital. Akhirnya kita hanya dapat membiarkan tikus tersebut terus hidup dan memakan setiap padi kita.

Problematika Dunia Digital

Pola rusak dari masyarakat digital adalah satu dari berbagai problema dari dunia digital ini. Permasalahan netralitas internet, data breach,hingga UU ITE yang menekan kebebasan berekspresi sedangkan maha benar mulut warganet dilupakan. Akan sangat membantu jika ada platform digital yang membantu menangani berbagai tindakan ajaib warganet. Namun seperti koin bermata dua, hal tersebut dapat disalahgunakan bagi warganet untuk saling menyerang orang yang berbeda paham. Akhirnya yang bisa kita lakukan cuma menutup diri dan keterikatan pada dunia digital.

Satu hal yang dapat kita lakukan adalah berhenti melakukan normalisasi untuk tindakan yang salah. Tidak ada yang lucu dari serangan kepada salah satu pihak. Tidak ada kata baper bagi mereka yang mendapatkan ancaman dan pelecehan di media sosial. Dan mulai lah bersikap sebagai homo sapiens yang berakal dan berbudi luhung. Berhenti lah menjadi tikus sawah, karena cepat atau lambat pemburu akan datang dan menangkapnya. It took a looooong way here, but eventually it will come. Hopefully.

--

--