Meninggalkan Media Sosial

Eunike
4 min readOct 9, 2020

So, I delete my social media. Sebuah keputusan yang sering maju dan mundur saya lakukan. Sejak masa kuliah saya sudah memberi perhatian lebih pada budaya di masyarakat digital dalam beberapa diskusi sederhana hingga bacaan mendalam. Pergerakan antara budaya kita yang mengikuti pandemi terasa lebih instan dan berbasis dunia digital. At some point, I got tired of everything.

Hal ini bermula pada satu hari saya merasa muak dan lelah dengan pemberitaan mengenai Covid-19 dan merasakan kepanikan luar biasa karena pemberitaan yang terlalu banyak. Sebagai orang yang skeptis, saya memang mencerna secara perlahan informasi yang saya peroleh, namun dalam satu tahap saya merasa terlalu lelah dengan semuanya. Ditambah dengan badan saya yang kala itu drop dan tidak merasa informasi seperti itu dibutuhkan. Dengan berbagai faktor pendukung lainnya, akhirnya saya memutuskan untuk menghapus media sosial saya.

Ilusi Kebebasan Berekspresi

Sedari masa sekolah, saya aktif dengan setiap media sosial sebelum hal tersebut menjadi budaya kita. Akses internet yang berbatas warung internet kala itu tidak menghalangi saya untuk aktif pada perkembangan dunia digital. Telah lebih dari satu dekade lalu, saya aktif membuat akun mulai dari Friendster, Facebook, Twitter, Instagram, Snapchat. Belum berbagai media komunikasi seperti LINE, WeChat, Whatsapp dan berbagainya. Saya merasa platform tersebut menjadi medium untuk menuangkan kebebasan berekspresi saya. Menunjukkan sisi lain dari diri saya yang saya sembunyikan dari orang-orang.

Semakin bertambahnya kemudahan akses informasi akhirnya membawa saya ke hal yang saya takutkan. People knows about me. Sebut saja, dalam satu tahun berapa spam berisi iklan hingga MLM yang masuk pada kotak masuk email, SMS, inbox media sosial kita. Sayangnya, hal tersebut sering tidak dianggap sebagai sebuah masalah. Pernah suatu ketika, saya melaporkan salah satu nomor yang melakukan penipuan kepada salah satu rekan saya. Saya sudah menghubungi kanal yang disediakan Kominfo, perusahaan telekomunikasi dan berbagainya tetap saja tidak ada respon. Bagi mereka selama tidak ada kerugian secara finansial maka laporan tersebut tidak bisa dianggap valid. Padahal jelas ini melanggar privasi kita sabagai masyarakat digital.

Bermula dari satu kegelisahan hingga kegelisahan yang lain akhirnya membawa saya untuk menonaktifkan sementara media sosial pada masa saya kuliah. Tujuannya sederhana, saya ingin fokus mengerjakan apa yang di hadapan saya. Dan semakin lama saya merasakan efek Big Brother is Watching You yang digambarkan oleh George Orwell pada novel 1984. Berawal dari sana saya menyadari bagaimana kebebasan berekspesi kita tidak ubahnya sebagai sebuah ilusi. Coba sadari setiap algoritma dan penyesuaian pada setiap media sosial yang kita gunakan. Akhirnya, kita tidak diberi kemewahan kebebasan berekspresi namun tidak lebihnya menjadi sapi perah atas murahnya informasi pribadi kita.

Kesehatan Jiwa dan Hidup Nyata

Saya sudah beberapa kali membaca, mendengarkan, menelaah analisa mengenai kestabilan kesehatan jiwa dan mental kita apabila kita meninggalkan media sosial. Sebut saja dalam keseharian kita akan ada momen satu atau dua yang ingin kita bagikan kepada orang lain. Entah kutipan buku yang kita baca, tempat yang kita datangi hingga barang apa yang kita anjurkan orang lain beli. Atas dasar pemuasan ego diri atau alasan edukasi masyarakat, namun saya berasa budaya masyarakat digital seperti itu cukup melelahkan.

Saya merasakan sindrom seperti fear of missing out (FOMO) ketika melihat orang orang mengoleksi suatu barang atau menunjukkan prestasi dirinya. Dan akhirnya, saya kesulitan melihat sisi terbaik dari diri saya sendiri karena terlalu fokus memperhatikan apa yang terjadi di orang sekitar saya. Hal tersebut awalnya tidak mengganggu aktivitas saya, namun semakin lama saya merasakan kelelahan dan rasa diburu oleh suatu hal yang saya sendiri tidak mengerti apakah itu. Energi saya seperti terkuras dan ditambah rasa tidak nyaman pada kondisi fisik saya kala itu membuat saya memutuskan sekarang adalah waktu yang tepat untuk menutup semua akun saya.

Sebenarnya keputusan kecil untuk menutup semua jalan saya menuju media sosial sedikit demi sedikit saya lakukan. Sekitar 5 bulanan lalu saya menutup beberapa media hiburan seperti TikTok dan sejenisnya yang kala itu membantu mengisi waktu karantina karena pandemi. Alasan utamanya jelas karena kebocoran data namun lebih dari itu kelelahan saya akan informasi tetap menjadi dasar dari setiap keputusan saya. Kemudian, pada bulan lalu saya memantapkan diri untuk menutup semua akun media sosial saya hingga memutus beberapa jaringan komunikasi saya pada hari tertentu.

Hari awal tanpa media sosial adalah masa detoksifikasi saya dari racun yang ada dalam tubuh saya. Keringat kecanduan saya muncul untuk mengisi waktu luang saya dan beberapa pikiran apa yang harus saya lakukan. Namun, semakin hari saya semakin sadar dan mantap untuk tidak menggunakan media sosial. Sejauh ini, saya merasakan kedamaian dan kelambanan hidup yang jarang saya rasakan sebelumnya. Jelas terdapat beberapa konsekuensi seperti tidak mendapatkan informasi cukup mungkin untuk circle sosial dan pekerjaan. Namun semua itu sepadan dengan perasaan santai yang saya rasakan.

Dan Akhirnya..

Keputusan saya untuk meninggalkan media sosial adalah keputusan yang tepat bagi saya. Jelas tidak dapat dikatakan bahwa semuanya positif, terdapat beberapa konsekuensi yang saya rasakan besar dan kecil. Namun, seperti yang saya rasakan sebelumnya bahwa semuanya saya rasa sepadan dengan rasa santai dan damai yang saya rasakan. Keputusan ini tidak satu satunya yang membantu saya menenangkan jiwa saya. Karena apabila saya meninggalkan media sosial namun masih sibuk dalam candu lain saya pikir tidak ada bedanya.

Saya memutuskan untuk memulai hidup saya tanpa candu akan kehidupan dan perlahan menemukan dan menyirami sosok dari diri saya yang telah lama saya lupakan. Tidak bisa saya katakan apakah saya sudah sembuh dari setiap racun dalam tubuh saya. Namun, mengenal dan menjalani kehidupan seperti ini saya merasakan kenyamanan. Akhirnya, dengan berhenti mengikatkan diri kita pada manusia dan benda lain kita bisa membuat koneksi pada diri kita yang bisa saja tidak kita temukan sebelumnya. Cobalah, kalian akan sadar bahwa hal sederhana yang kita temukan setiap hari nya adalah kebahagiaan yang terkadang kita lupakan. Berbahagialah, kawan.

--

--