Konsumerisme, Retail Therapy dan Materialisme

Eunike
5 min readFeb 10, 2021
Photo by Etienne Girardet on Unsplash

Saya teringat beberapa tahun lalu menonton film Confessions of a Shopaholic pada sebuah stasiun televisi nasional. Berkisah tentang Becky dan kegemarannya berbelanja dan segala permasalahan yang akhirnya mengikutinya. Sedikit mengajarkan kita betapa gelapnya kehidupan dalam budaya konsumerisme yang kita hadapi hingga kini.

Hal ini terus berkembang pesat seiring dengan jumlah signifikan e-commerce sejak memasuki era digital. Ditambah lagi dengan masa pandemi yang mempermudah kita untuk berbelanja dengan prinsip one click away. Namun, menjadi pertanyaan seberapa besar budaya konsumerisme ini mempengaruhi kita dalam keseharian?

Konsumen dan Retail Therapy

Salah satu yang mengganggu saya dengan budaya ini adalah kita secara tidak sadar dipaksa untuk masuk dalam lubang kelinci ini. Bagaimana tidak? Setiap minggunya beberapa e-commerce melakukan promosi besar besaran untuk memaksa kita hidup dalam ‘one click away’. Hal ini kemudian secara tidak sadar masuk dalam memori dan alam bawah sadar kita untuk menggunakan budaya ini sebagai penyaluran dari kepenatan dunia.

Sebut saja dalam beberapa fase kita terpuruk atau sekedar bosan tanpa sadar muscle memory kita mengarahkan ke beberapa aplikasi e-commerce untuk sekedar scrolling hingga mengosongkan keranjang kita. Kebahagiaan sesaat yang kita rasakan tersebut dikenal dalam terminologi psikologi sebagai retail therapy. Secara sederhana retail therapy adalah ketika tujuan berbelanja kita sebagai konsumen bukan karena kebutuhan kita namun perasaan yang lebih baik secara mental.

Hal ini dilakuan oleh sebagian besar dari kita tanpa kita menyadarinya. Kejadian seperti ini mungkin terjadi di kebosanan kita di tempat kerja, bertemu kolega, hingga insomnia yang membuat kita melakukan checkout pada tengah malam. Minimnya kontrol kita sebagai manusia akan kehidupan menyebabkan besarnya keinginan kita untuk mengontrol sekedar barang apa yang akan kita beli. Kegiatan berbelanja membuat kita satu satunya nahkoda yang memegang kendali. Bisa berupa produk apa yang akan kita beli hingga puluhan skenario dalam kepala kita seperti apa dan kapan kita menggunakan barang tersebut.

Retail Therapy membuat konsumen diberi imaji sebagai yang berkuasa atas rantai makanan dalam ekosistem ini. Tanpa kita sadari, kita sebagai konsumen tidak lebih dari posisi terendah dalam rantai ini yang dipaksa untuk mengikuti kuasa pemangsa. Namun hal ini akan terus terjadi dalam waktu yang cukup panjang yang disebabkan oleh faktor kemudahan dan ekonomis nya portal berbelanja seperti ini. Jika dilanjutkan lebih jauh, terapi untuk meningkatkan kadar serotonin dalam tubuh kita pada akhirnya memberikan ruang pada racun dan bukan metode penyembuhan (healing).

Materialisme dan Pola Hidup

Konsumerisme yang dibudayakan secara terus menerus akan membentuk rasa kepemilikan berlebih pada sebuah barang, Tanpa kita sadari manusia akan memiliki kecenderungan untuk memberi nilai dan standar pada setiap barang yang dimiliki. Perlahan tapi pasti kita akan menganggap segala hal yang kita baliki hal hidup atau mati adalah sebuah materi atau barang yang layak untuk dinilai. Prinsip materialisme ini terus mengakar dan lambat lain menjadi momok di kehidupan masyarakat digital masa kini.

Perkembangan teknologi yang mempercepat umur sebuah zaman tanpa kita sadari telah menjajah alam pikir kita. Hal ini kemudian menciptakan umur suatu barang menjadi pendek, sehingga kita sebagai pemilik sebuah barang tidak pernah benar benar menikmati nilai yang disuguhkan. Perputaran produk pada pasar menjadi salah satu sebabnya. Sudah berapa barang yang kita agungkan nilainya di masa sebelumnya yang sekarang kita bahkan tidak tahu dimana eksistensinya. Ia tergantikan oleh nilai produk lain yang dianggap sebagai penentu kasta sosial dari sekelompok masyarakat.

Adapun berbagai sentimen sosial sudah berkali kali digaungkan oleh beberapa kelompok masyarakat. Sebut saja istilah semacam Budget Pas Pas an Jiwa Sosialita (BPJS), Panjat Sosial dan lain sebagainya. Istilah yang mungkin berawal dari bercandaan tanpa kita sadari menggambarkan racun yang ada dan kita temui di masyarakat.

Mengingat kembali lingkaran rantai makanan pasar, racun semacam ini akan terus berjalan dalam waktu yang panjang. Rantai ini kemudian dapat diputus apabila kita sebagai konsumen tingkat akhir mulai menyadari persoalan ini. Bagaimanapun juga akan membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mengubah cara bekerja para pemangsa atau produsen, sehingga akan lebih mudah untuk mengubah konsumen untuk bersikap.

Bagaimana Menyikapinya?

Langkah awal yang perlu kita ambil adalah menyadari setiap barang yang disediakan oleh pasar sejatinya memang memiliki beberapa nilai, namun, yang perlu kita perhatikan adalah nilai pokok dari barang itu. Bagaimana fungsi dan tujuan dari barang itu yang menjadi standar kita bukan tingkat kepuasan semu yang kita dapatkan apabila mendapatkan barang itu. Sebut saja sebuah sepatu yang dijual dipasar memiliki nilai pokok sebagai alas kaki yang nyaman dan tahan lama, namun ia juga memiliki nilai sekunder seperti kebanggaan atau kepusaan sosial. Dengan memusatkan kepada nilai pokok barang, kita dapat lebih bijak mengambil keputusan.

Langkah kedua adalah menjadi maximizer sebelum berbelanja. Secara sederhana, maximizer merupakan pola konsumen yang memperhatikan setiap faktor sebelum membeli sebuah produk, berkebalikan dengan itu satisficer merupakan pola konsumen yang membeli barang dengan yang memenuhi kriteria sederhana. Kedua jenis konsumen ini saling melengkapi satu sama lain.

Sebelum membeli produk ada baiknya kita menjadi maximizer dengan memperhatikan setiap faktor sebelum akhirnya memiliki sebuah barang. Dengan memperhatikan semua faktor kita akan memiliki barang yang mempunyai nilai pokok yang tepat, dan lebih lagi kita jadi tidak terbawa kehendak impulsif untuk berbelanja setiap saat. Namun, kita pun perlu menjadi satisficer setelah proses pembelian barang terjadi, tujuannya adalah untuk menghilangkan buying remorse yang kita dapatkan setelah perputaran produk di pasar yang terus berjalan.

Langkah terakhir yang perlu kita ambil adalah untuk perlahan mengubah pola hidup kita. Banyak pilihan untuk mengakhiri racun ini memasuki alam bawah sadar kita. Saya sendiri banyak mempelajari soal gaya hidup minimalisme dalam pola konsumen. Secara sederhana minimalisme adalah gaya hidup untuk merasa cukup dengan apa yang kita miliki. Hal ini tidak jauh berbeda dengan kita memusatkan perhatian kita kepada nilai pokok suatu barang. Pola hidup minimalisme mengajarkan kita untuk membeli suatu barang apabila kita memang memerlukannya dan tidak memilikinya. Hal ini jika diterapkan bisa mematahkan siklus konsumerisme sekaligus materialisme secara total.

Mengubah pola hidup kita menjadi tahapan akhir dari langkah kita sebagai konsumen final dari rantai yang diciptakan oleh pasar. Hal ini dikarenakan langkah tersebut mungkin langkah terbesar dan rangkuman dari setiap langkah sederhana yang bisa kita lakukan. Namun terlebih dari itu semua adalah kesadaran yang kita miliki akan apa yang salah pada masyarakat. Dengan membawa kesadaran kita tersebut sedikit demi sedikit akan menghentikan diri kita sebagai konsumen yang dibutakan oleh pasar.

--

--