Day 26 : Highschool is NOT The Best Times

Eunike
4 min readOct 12, 2020

Uh, menceritakan masa sekolah saya bukanlah hal yang menyenangkan. Sebagaimana kalian tahu, saya tumbuh di masa sekolah dasar dan menengah dengan skill dan pengalaman yang tidak menyenangkan. Apa yang harus saya kisahkan? Namun, saya akan mencoba mengisahkan masa menengah atas saya yang kata orang masa paling indah. Dan, bagi saya itu sangat tidak benar.

Mungkin beberapa dari kalian bertanya tanya mengapa saya membenci masa SMA yang sangat berwarna. Well, saya tidak membencinya namun saya menyesalkan kenapa kehidupan harus menempa saya di masa yang mungkin bisa jadi indah. Kita tidak pernah tahu kapan kita akan ditempa yang membentuk karakter kita masa kini dan bagi saya hal itu terjadi di masa SMA. Tumbuh di sekolah dimana orang melihatmu sebagai anak guru dan saudara dari seseorang yang cukup dikenal memang ada beban. Namun pertengkaran yang ada di kepala saya yang sedikit menyiksa.

Concentration and (so called) genius

Di sekolah saya dibagi beberapa bidang dan singkat cerita saya memilih bidang yang sedikit tidak populer, bahasa. Jangan kuatir, saya tidak akan bercerita bagaimana minoritas membuktikkan kejayaan dan sebagainya karena jujur saya tidak peduli. Saya memilih bidang ini karena di program kepala saya kala itu saya tidak cukup cerdas dan satu satu hal yang saya bisa adalah menulis. Well, saya tumbuh dalam bayang bayang saudara saya terlalu lama untuk berpikir demikian. Namun lebih dari itu, program di sekolah saya dan seluruh indonesia mengajarkan segmentasi jenius yang berbeda kelas.

Hal ini bukan hanya terjadi di SMA saja. Saya teringat salah satu guru di sekolah menengah saya menyebut saya bodoh di depan kelas karena tidak segera menguasai salah satu grammar. Kemudian jarak satu kelas saya dipanggil oleh guru lain karena saya dianggap menguasai bidang yang sama. Dua duanya adalah guru bahasa inggris. Well, kedua metode itu tidak saya sukai. Namun pelabelan jenius bisa silih berganti dan harus diajarkan kepada semua orang bahwa ini ‘harus ditiru’ dan sisanya ‘harus tidak ditiru’. Label jenius diterapkan untuk memberi golongan dan kasta pendidikan yang tidak saya sadari terus berjalan di sekolah saya.

Everyone is genius in their own way. Begitulah salah satu cuitan saya kala itu seusai lulus dari SMA. Saya berada di kasta yang diuntungkan pada masa sekolah saya, satu karena pandangan nilai sebagai acuan dan sisanya karena kiprah kakak saya dan mungkin ketakutan orang mengganggu anak guru. Namun, saya sangat membenci nilai yang dianut oleh sekolah saya kala itu.

Salah satu penyesalan saya adalah kenapa harus bertumbuh di kota dengan pandangan tertutup akan ide liar saya. Dalam berkembang saya tidak memiliki medium untuk mengeluarkan ide dan gagasan saya. Kebanyakan karena keraguan akan diri saya sendiri, namun sisanya karena pola pikir organisasi dan lingkungan yang membuat saya kehilangan kepercayaan. Apapun jawabnya, saya yakin itu adalah proses yang harus saya lalui untuk sampai di masa kini.

Irony of the shadow

Beberapa orang melihat kemudahan yang saya dapatkan karena tumbuh sebagai bayang bayang. Namun faktanya, tuntutan yang diberikan kepada saya berlipat ganda oleh lingkungan kala itu. Apapun hasil terbaik yang saya lakukan dianggap sebagai privilege ‘anak guru’, kesalahan kecil yang saya lakukan akan dianggap ‘like brother like sister’. Jelas hanya beberapa oknum, namun hal itu sangat menyebalkan. Saya tidak pernah mendapat peran, karena peran telah digariskan oleh lingkungan sekitar saya. And it feels like shit.

Pada masa sekolah menengah atas saya juga harus meredam segenap trauma si inner child dan existential crisis di luar lingkungan sekolah yang tidak saya pahami. Pergulatan di isi kepala saya dan lingkungan yang kadangkala membuat saya tidak peduli dengan apa yang terjadi di masa sekolah. Jujur, saya tidak memberi waktu untuk orang lain karena saya terlalu sibuk dengan mengambil kontrol diri saya sendiri. Dan saya tidak menyesali untuk memprioritaskan diri saya kala itu. Walau harus terbelah lingkungan sosial mana yang harus saya pilih, namun keputusan saya mengedepankan diri saya adalah pilihan terbaik.

Kembali menyoal sekolah, salah satu penyesalan saya adalah betapa tertinggalnya pembelajaran sekolah saya dibanding kawan lain di masa awal bangku kuliah. Saya sadar tidak sampai sepuluh persen pembelajaran akademis di SMA bisa saya terapkan di kuliah. Saya pikir hal tersebut wajar terjadi, sampai menyadari berbedanya pembelajaran yang dilakukan sekolah lain. Namun akhirnya saya bisa apa, kesenjangan otonomi daerah jugalah yang berbicara. Saya menyesalkan hal tersebut, namun saya tahu sekolah saya telah berupaya namun sistem jugalah yang bebicara.

Salah satu yang saya syukuri adalah beberapa kawan dekat saya yang mungkin saya abaikan atau beberapa saya sambangi kala itu. Saya masih merasa masa sekolah saya tidak menyenangkan untuk sekedar dikenang. Mungkin teman teman saya sedikit kontra dengan pendapat saya. Namun, kehadiran mereka yang saya sadari intensnya setelah lulus adalah satu hal yang amat saya syukuri. Beberapa sahabat terdekat saya berawal di masa SMA walaupun kala itu I may be a little bit be a bitch. But, I love you guys.

Jika mengingat kembali masa SMA tidak lebih dari sekelompok besar remaja labil dengan isu masing masing dijadikan dalam satu ruangan. Di satu meja akan mengisahkan percintaan romeo juliet, sisi lainnya akan mendiskusikan orang sekitar, sisanya akan sibuk dengan dunia nya sendiri. Dan sisa lainnya hanya tenggelam dengan setiap masalah personal dan segenap kekhawatiran yang tidak seharusnya dikhawatirkan di masa itu. Saya tidak membenci sekolah saya, namun mengutuk sistem yang sayangnya tidak bisa syaa ubah. Namun, untuk setiap air mata, hinaan, hate speech dan tawa yang kita lalui bersama saya tetap bersyukur. Tidak ada diri saya sekarang apabila saya tidak melalui hal tersebut. And guys please don’t bully anyone, it will or may affect them for longer you can imagine.

Keep sane and be healthy.

--

--