Day 25 : Beach and My Fear(s)

Eunike
3 min readOct 11, 2020

Ketika membaca topik hari ini, saya sedikit bingung apakah berdasarkan urutan terakhir atau terawal. Bagaimana saya bisa mengolah tulisan dari sebuah gambar yang saya pasti sudah lupa. Namun, saya tidak membiarkan overthinking mengalahkan saya kali ini. Well, not today. Untungnya, gambar kali ini tidak mempermalukan saya. Pantai Atuh yang berlokasi di Nusa Penida. Indah, bukan?

Saya bukanlah penggemar pantai dari dulu hingga sekarang. Sedikit ironi mengingat saya bertumbuh berseberangan dengan pantai. Bahkan hingga tempat saya bekerja, masih dikelilingi dengan pantai. Begitulah kehidupan. Lantas, mengapa saya jauh jauh ke nusa penida kalau tidak suka dengan pantai? jawabannya adalah seorang kawan yang memaksa saya menjajaki dunia luar yang selama ini saya hindari. Namun, saya tidak akan menceritakan perjalanan saya walaupun sedikit geli dan tidak terlupakan. Saya akan menceritakan inspirasi dari kehidupan pantai dan melawan rasa takut.

Facing My Fears

Saya takut bunyi ombak, atau lebih tepatnya saya takut dengan bunyi keras yang mempekakan telinga. Banyak yang mendasari namun intinya telinga saya memproses bunyi keras dengan memberi sinyal ancaman ke otak saya. Ombak adalah salah satunya. Kehidupan seperti bercanda dengan saya, dan mengajak saya berkeliling menghadapi ketakutan saya. Berawal dari sebuah kota pesisir Jepara hingga membawa saya ke Bali. Dua daerah pesisir yang berbeda pulau. Mungkin beginilah alam berbahasa untuk mengajak saya berkawan.

Setiap orang dapat berkisah soal perjalanannya ke suatu tempat. Namun bagi saya, perjalanan ke Pantai Atuh mengingatkan saya pada kisah yang disebutkan oleh Haemin Sunim. Saya sedikit lupa detailnya, namun diceritakan perjalanan yang ia tempuh untuk mencapai sebuah keindahan gunung namun yang ia rasakan adalah rasa haus dan kelaparan. Padahal, jika orang menikmati foto panorama gunung tersebut akan terpukau bahkan iri tanpa mengetahui kesusahan apa untuk mencapai tahap tersebut. Begitulah perjalanan ke pantai Atuh bagi saya.

Bagaimana tidak? saya harus melewati puluhan anak tangga di tebing dan melawan ketakutan saya akan ketinggian. Belum lagi, sampai disana saya harus mendengar bunyi keras ombak yang disertai angin cenderung ke badai. Yap, saya memang memiliki banyak ketakutan. Namun, mengingat pantai atuh adalah peristiwa saya untuk mengalahkan ketakutan saya. Hasilnya adalah sebuah kemegahan foto yang akhirnya mengundang tanya berbagai kawan saya bagaimana bisa orang semager saya bisa melangkahkan kaki disana. Namun lebih dari itu, saya berhasil menghadapi ketakutan saya walaupun tidak serta merta menghilangkannya.

Imagined Fear

Saya pernah menuliskan apa yang disebut imagined fear oleh Yenny Wahid disini. Cukup masuk dalam pikiran saya bahwa kita membenci hal yang tidak kita mengerti. Dalam hal ini saya tidak membenci, hanya cenderung takut. Saya tidak mengerti beberapa orang menempuh perjalanan dan rela membuat dirinya lelah untuk mendapatkan sekian menit pemandangan. Yap, saya mencintai alam namun karakter mager selalu menjadi kendala saya.

Saya takut dengan suara ombak besar, ketinggian hingga masa depan. Sekilas, saya memang bukanlah karakter pejuang. Mungkin benar, mungkin tidak, entah. Dalam memandangi Pantai Atuh, jujur saya terpukau. Meskipun saya datang dengan keadaan badai dan pulang dengan basah kuyup, namun saya tidak pernah menemukan laut sebiru itu. Dan dalam setiap bukit yang menaungi pantai tersebut memberi keindahan dan signature yang membuat saya terpukau. Dalam beberapa detik, saya mengerti mengapa orang-orang rela menempuh banyak hal untuk mendapat keindahan tersebut. Dan untuk beberapa detik saya melupakan ketakutan saya.

Kisah perjalanan saya ke Nusa Penida bukanlah hal yang mudah. Salah satu sebabnya karena saya bersama kawan dekat saya dan beberapa orang bertemu di jalan menerapkan low budget. Jangankan itinerary, persiapan untuk penginapan saja kita tidak punya. Namun saya, benar benar bersyukur dengan perjalanan itu. Pembelajaran yang saya petik dan sadari mungkin dua tahun kemudian, setelah menuliskan nya disini. Mungkin lain kali saya harus menulis lebih detail soal ini.

Anyway, saya sadar bahwa tidak ada perjalanan yang mudah ditempuh. Dalam satu hari kita bisa melawan ketakutan saya, hal lain mungkin bensin yang habis di tengah jalan, sisanya mungkin pantat yang tidak terbentuk karena jalanan yang tidak bersahabat. Apapun itu, jika kita benar benar melihat lebih dalam ada keindahan dan kenangan yang layak untuk kita ingat selalu pada saat duka. Mungkin itu adalah guna dari memori, untuk mengingatkan kita bahwa hidup sejatinya indah. Ombak itu indah dan menghadapi ketakutanmu adalah indah.

--

--