I love books. I’ve used to read a book every single time. Meskipun itu selalu dihadapi dengan posisi awkward dari pandangan orang lain. It wouldn’t matter. Namun, karena alasan kesibukan atau mungkin kemalasan saya semakin hari saya mengurangi intensitas rutinitas tersebut. Namun ketika saya mengalami kebimbangan, buku selalu yang saya hampiri untuk melupakan kepenatan dunia.
I’m not a nerd, well hopefully. Namun, bagi saya proses pengenalan dunia paling mudah dan murah tentu saja dapat kita ambil dari buku. Bacaan kita adalah fundamental dari cara kita menyampaikan pendapat atau bahkan sekedar menulis di blog seperti ini. Bacaan saya tidak beragam dari genre hingga kuantitas, saya cenderung kembali ke buku seperti itu itu lagi. Jadi saya bukanlah orang yang tepat untuk memberikan rekomendasi. Namun saya selalu kembali ke beberapa buku, ketika saya merasa butuh panduan dalam melangkah. So here I goes, my go to books when life get hard (so far):
A Simple Life oleh Desi Anwar
Saya mengenal buku ini semasa saya kuliah dan cukup tergila gila dengan tulisan Desi Anwar. Bagaimana ia menulis pembahasan ringan dengan cukup mendalam selalu menginspirasi saya sampai sekarang. Sebagaimana judulnya, A Simple Life mengisahkan bagaimana Desi Anwar menjalani dan mengamati kehidupan dari hal hal kecil di sekitar kita. Terdapat nilai besar dalam kehidupan yang tidak kita sadari adalah kesederhanaan itu sendiri.
Kita sebagai manusia sering memperumit segala hal. Kita menilai kehidupan sebagai sebuah beban yang sulit untuk kita jalani. Kemudian mengambil premis tersebut, Desi Anwar memberikan gambaran betapa sederhananya hidup ini. Salah satu kisah yang terkenang bagi saya adalah sub judul Gardening yang menceritakan proses magis dari kehidupan tanaman. ‘What I was witnessing was nothing less than nature in action, creating living thing out of seemingly dead seed’ begitu disebutkan. Bagi saya kisahnya menceritakan, bahwa kita sebagai manusia atau pemilik tidak bisa memaksakan kehidupan bahkan dari sebuah tanaman untuk tumbuh semua kita. Its death and life is none of our power.
A Simple Life bukanlah sebuah bacaan yang berat atau dapat mengubah pola pikirmu. Namun, kesederhanaan dalam buku ini membuat saya tertarik dengan konsep yang diberikan. Membaca A Simple Life ini tak lebihnya seperti membawa jurnal harian dari Desi Anwar itu sendiri. Jauh dari saya mengenal konsep mindfullness dan sebagainya, saya mengenal kesederhanaan mulai dari proses tanaman hidup hingga karir. Segala hal yang kita temui sehari hari inilah kebahagiaan dari kesederhanaan yang patut kita syukuri.
The Art of Happiness oleh Dalai Lama XIV dan Howard C. Cutler
Jika membaca postingan saya sebelumnya soal happiness mungkin tidak asing dengan sebutan saya soal Dalai Lama di beberapa bagian. Buku The Art of Happiness adalah sebuah buku yang kadang saya anggap sebagai sebuah kitab untuk mensyukuri dan merasa bahagia. Kita sebagai manusia cenderung mencari alasan untuk merasa tidak bahagia, meskipun memiliki banyak alasan untuk merasa bahagia. Buku ini menceritakan kisah Howard C. Cutler yang mewawancarai Dalai Lama XIV menyoal kehidupan dan kebahagiaan itu sendiri.
Tidak jauh berbeda dengan kesederhanaan, buku ini mengajarkan mensyukuri nilai kehidupan dari hal kecil yang kita temui. Salah satu yang menarik ketika membahas intimacy yang kemudian dikerucutkan menjadi ketergantungan setiap manusia kepada manusia yang lainnya. ‘We have to try to maintain an attitude of friendship and warmth in other to lead way of life in which there is enough interaction with other people to enjoy a happy life’ begitu disebutkan. Ketergantungan disebutkan oleh Cutler adalah bagaimana sepasang baju yang kita gunakan telah melalui proses oleh beberapa orang untuk sampai ke tangan kita sendiri. Mengingat hal tersebut, menyadarkan kita betapa tergantungnya kita akan kehadiran orang lain. Our very existence is linked with others.
Sebagaimana judulnya, The Art of Happiness adalah sebuah konsep sudut estetika dalam memandang kehidupan. Mengapa seni? karena tidak ada penjelasan rasional dan ilmiah mengenai bagaimana kehidupan itu dijalani. Mengamati segala hal sederhana dan menyadari keindahan dari kehidupan sendiri itulah yang saya pahami dari bacaan ini. Membaca buku ini seperti terlibat dalam sesi tanya jawab dengan Dalai Lama XIV. Salah satu yang ditekankan adalah sebuah kebahagiaan tidak dapat dihitung secara angka, melainkan dipahami secara perlahan dengan eksistensi orang lain dan keindahan tersebut yang seharusnya membuat kita terus berbahagia.
Saya memang cenderung membaca nonfiksi dibandingkan fisik. Bagi saya, membaca fisik cukup berat karena harus menggunakan imajinasi saya yang sangat dangkal ini. Sehingga butuh proses berkali kali dilakukan. Namun terdapat beberapa buku fiksi yang saya baca, salah satu favorit saya adalah Aroma Karsa dari Dewi Lestari. Buku itu merupakan combo yang tepat bagi penggemar nonfiksi dan fiksi seperti saya, dan sejauh ini saya belum melihat buku sejenis itu di Indonesia.
Bagi saya, membaca buku adalah sebuah jalan untuk memahami kehidupan dan berbagai hal yang masih menjadi pertanyaan bagi saya. Sayangnya, dalam masyarakat kita masih awam dilakukan dan dianggap sedikit aneh. Bayangkan saya, di keramaian transportasi umum, ketika kita membaca buku maka satu dua atau beberapa memandang kita dengan berbagai pertanyaan. Candan yang diajukan semacam sandangan ‘kutu buku’ sudah sering terjadi. Entah berawal dari nilai apa, namun seharusnya proses membaca khususnya di tempat umum tidak dianggap tabu atau terjebak di situasi awkward.